Kasih Terbesar
"Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya… "
Pada suatu siang, sebuah peluru mortir mendarat di sebuah panti asuhan di sebuah perkampungan kecil Vietnam. Seorang petugas panti asuhan dan dua orang anak langsung tewas, beberapa anak lainnya terluka, termasuk seorang gadis kecil yang berusia sekitar 8 tahun.
Orang-orang dari kampung tersebut segera meminta pertolongan medis dari kota terdekat. Akhirnya, seorang dokter Angkatan Laut Amerika dan seorang perawat dari Perancis yang kebetulan berada di kota itu bersedia menolong. Dengan membawa Jeep yang berisi obat-obatan dan perlengkapan medis mereka berangkat menuju panti asuhan tersebut.
Setelah melihat keadaan gadis kecil itu, dokter menyimpulkan bahwa anak tersebut sudah dalam keadaan yang sangat kritis. Tanpa tindakan cepat, anak itu akan segera meninggal kehabisan darah. Transfusi darah adalah jalan terbaik untuk keluar dari masa kritis ini.
Dokter dan perawat tersebut segera mengadakan pengujian singkat kepada orang-orang di panti asuhan - termasuk anak-anak, untuk menemukan golongan darah yang cocok dengan gadis kecil itu. Dari pengujian tersebut ditemukan beberapa orang anak yang memiliki kecocokan darah dengan gadis kecil tersebut.
Sang dokter, yang tidak begitu lancar berberbahasa Vietnam - berusaha keras menerangkan kepada anak-anak tersebut - bahwa gadis kecil itu hanya bisa ditolong dengan menggunakan darah salah satu anak-anak itu. Kemudian, dengan berbagai bahasa isyarat, tim medis menanyakan apakah ada di antara anak-anak itu yang bersedia menyumbangkan darahnya bagi si gadis kecil yang terluka parah.
Permintaan itu ditanggapi dengan diam seribu bahasa. Setelah agak lama, seorang anak mengacungkan tangannya perlahan-lahan, tetapi dalam keraguan ia menurunkan tangannya lagi, walaupun sesaat kemudian ia mengacungkan tangannya lagi.
"Oh, terima kasih," kata perawat itu terpatah-patah. "Siapa namamu ?"
"Heng," jawab anak itu.
Heng kemudian dibaringkan ke tandu, lengannya diusap dengan alkohol, dan kemudian sebatang jarum dimasukkan ke dalam pembuluh darahnya. Selama proses ini, Heng terbaring kaku, tidak bergerak sama sekali.
Namun, beberapa saat kemudian ia menangis terisak-isak, dan dengan cepat menutupi wajahnya dengan tangannya yang bebas.
"Apakah engkau kesakitan, Heng ?" tanya dokter itu. Heng menggelengkan kepalanya, tetapi tidak lama kemudian Heng menangis lagi, kali ini lebih keras. Sekali lagi dokter bertanya, apakah jarum yang menusuknya tersebut membuatnya sakit, dan Heng menggelengkan kepalanya lagi.
Tetapi tangisan itu tidak juga berhenti, malah makin memilukan. Mata Heng terpejam rapat, sedangkan tangannya berusaha menutup mulutnya untuk menahan isakan tangis.
Tim medis itu menjadi khawatir, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Untunglah seorang perawat Vietnam segera datang. Melihat anak kecil itu yang tampak tertekan - ia berbicara cepat dalam bahasa Vietnam. Perawat Vietnam itu mendengarkan jawaban anak itu dengan penuh perhatian, dan kemudian perawat itu menjelaskan sesuatu pada Heng dengan nada suara yang menghibur.
Anak itu mulai berhenti menangis - dan menatap lembut mata perawat Vietnam itu beberapa saat. Ketika perawat Vietnam itu mengangguk - tampak sinar kelegaan menyinari wajah Heng.
Sambil melihat ke atas, perawat itu berkata lirih kepada dokter Amerika tersebut, "Ia mengira bahwa ia akan mati. Ia salah paham. Ia mengira anda memintanya untuk memberikan seluruh darahnya agar gadis kecil itu tetap hidup."
"Tetapi kenapa ia tetap mau melakukannya ?" tanya sang perawat Perancis dengan heran.
Perawat Vietnam itu kembali bertanya kepada Heng.. dan Heng pun menjawab dengan singkat :
"Ia sahabat saya.."
Try Again
Apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya."
Suatu kali ayah Randi sedang melatih anaknya bersepeda di sebuah taman yang ada di depan rumah mereka. Awalnya, sang ayah memegang dari samping sepeda yang dikendarai Randi. Dengan sabar, ia mengajari anaknya itu bagaimana mengayuh sepeda dan menyeimbangkan badan. Namun, tiba-tiba sang ayah melepaskan tangannya dari sepeda, tentu saja Randi yang belum siap ketika itu pun jatuh.
Air mata Randi keluar saat ia melihat ada darah keluar dari kakinya. Perih, itulah yang dirasakannya ketika itu. Sang ayah yang tidak jauh dari jatuh anaknya itu pun hanya tersenyum dan mendatangi Randi yang sedang menangis dan memegang kakinya yang luka. Ia pun mendatangi anaknya dan memegang kakinya. Dengan santai, ia berkata kepada anaknya, "ah, ini mah gak papa, besok juga lukanya udah kering. Randi, masih mau melanjutkan latihan sepedanya atau tidak?"
Randi yang mendapat pertanyaan dari sang ayah pun terdiam. Air matanya berhenti saat itu dan pikirannya saat itu berputar. Sambil terisak-isak, ia menganggukkan kepalanya tanda untuk mau latihan. Sang ayah pun mengambil sepeda dan meminta anaknya untuk bangkit kembali. Dengan menahan rasa perih, ia pun menuruti permintaan ayahnya. Sepeda kembali ia dipegang dan Randi pun duduk di jok sepedanya.
Sewaktu sang ayah ingin membantunya untuk mengendarai sepeda, tawaran itu ia tolak. Ia meminta ayahnya untuk berada cukup jauh dari dirinya. Sambil menghela nafas panjang, Randi pun mulai mengayuh sepedanya. Pada ayuhan yang pertama dia begitu senang karena ia bisa mengendalikan sepedanya, tapi itu tidak berlangsung lama dan dia pun terjatuh. Hal itu terus terjadi sampai usahanya yang ke-9.
Pada usahanya yang ke-10, Randi kembali mengambil sepedanya. Dia pun dengan semangat mengangkat sepeda yang telah jatuh ke tanah dan kembali mencoba mengayuh sepedanya. Dan usahanya kali ini berhasil. Randi telah bisa menguasai sepedanya seorang diri. Ia pun menghampiri ayahnya dan mengatakan bahwa ia telah bisa berhasil mengendarai sepeda.
Tuhan menginginkan hal yang sama kepada kita. Walaupun mempunyai kuasa untuk menolong saat kita sedang dalam masa "jatuh", Dia ingin kita tetap berusaha untuk bangkit. Dia mau anak-anakNya menjadi anak yang tangguh; anak-anak yang tidak mudah menyerah oleh keadaan yang sukar; anak-anak yang berkata "ya" kepada kebenaran firman Tuhan dan "tidak" kepada dosa.
Saat ini Tuhan bertanya kepada Anda, "apakah engkau mau melanjutkan ujian dari-Ku dan menjadi pemenang sejati?" jika iya, berusaha terus saat Anda merasa gagal dan jatuh. Percayalah tangan-Nya selalu tersedia dan siap membantu ketika Anda membutuhkannya.
Untuk melihat janji Tuhan digenapi, terkadang Anda harus mengeluarkan usaha yang ekstra.
Selamat datang Cinta
Saya benar-benar terpana begitu melihat wajah yang ada di depan saya. Jadi seperti inilah sosok Bang Beng?
Uih, sederet makhluk keren pujaan warga dunia sebangsa Tom Cruise, atau Justin Timberlake, ataukah si Keanu Reeves, ternyata poinnya jauh di bawah Bang Beng. Akan ada saja ketidaksempurnaannya. Kalau tidak pada rambutnya yang kepirangan, kulitnya yang kebulean, atau matanya yang kelewat hijau sampai kayak orang rabun. Tapi yang namanya Bang Beng... waw, sudah rambutnya ikal legam, matanya hitam kelam, alisnya yang nyaris bertaut... benar-benar makhluk sempurna!
"Hai." Dia mengangkat tangannya. "Kamu pasti Ena."
Nah, dia tahu nama saya!
Nyaris saja saya melonjak kalau tidak cepat menyadari kalau kali ini kami bersua. Kalau saya jadi melonjak-lonjak kegirangan plus kege-eran, seperti apa kesan dia pada saya nanti?
Padahal orang bilang, kesan di awal perjumpaan itu sangat berarti!
"Kok tahu, sih?" Saya justru tersipu.
"Tentu, dong. Habis, kamu mirip betul dengan kakak kamu. Mudah-mudahan kamu bukan kloningnya dia."
Saya tertawa mendengar gurauannya.
"Oh ya, Ella ada, kan?"
Tawa saya terpotong. Tersadar bahwa kedatangannya kemari adalah untuk kakak saya, bukan untuk saya. Ah, kenapa tadi saya begitu bersemangat? Sampai begitu bel ber-'ning-nong', dan menduga yang datang itu adalah orang yang bernama Bang Beng, saya yang justru menyerbu membuka pintu depan?
"Lho, ditanya kok malah bingung? Hoi, hoi!" Bang Beng menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan mata saya.
Harusnya saya tertawa oleh ulahnya itu. Tapi, entah kenapa, saya malah menanggapinya dengan acuh tak acuh.
"Kak Ella masih dandan, tuh. Di kamar," sahut saya kemudian.
"Nah, sekarang kamu boleh laporan sama dia, bahwa Bang Beng yang ditunggunya telah mendarat dengan selamat. Oke?
Ooh, Mama, jadi dia datang memang bukan untuk saya? Dengar, dia malah mengusir saya dari hadapannya!
***
Saya sedang tidur-tidur ayam ketika Kak Ella muncul di sisi saya. Dia pasti setengah melompat, sampai sofa yang saya terlentangi berkeriut. Tentu dia sangat senang. Gembira sekali!
"Apaaaa...."
"Naaaah, bagaimana tanggapanmu tentang dia?"
"Apa...?"
Kak Ella manyun. Dia mematikan suara Toni Braxton dari stereo-set, lalu memekik. "Dia. Bang, Beng! Ganteng, kan?!"
"Uh, nenek-nenek pikun juga tahu dia itu ganteng."
"Aih, sip. Berarti saya nggak asal comot."
"Tapi...."
"Heh, tapi apa lagi? Kurang tinggi? Aduh, dia itu satu tujuh lima, lho. Untuk ukuran Indonesia dia itu sudah tinggi."
Kembali sofa berkeriut. Kali ini saya yang menggelinjang.
"Kalau soal tingginya sih, tinggi banget malah. Apalagi kalau untuk saya." Sejenak saya tertegun oleh kata-kata saya barusan. Kok untuk saya?!
"Lalu, apanya yang tapi?"
"Dia...," lagi-lagi saya tertegun, "dia kelihatannya baik. Maksud saya, saya menangkap kesan dia itu orang yang sangat baik."
Kak Ella ngakak-ngakak. "Itu sih bukan tapi," serunya di sela ngakaknya. "Itu namanya nilai tambah."
"Nah, karena itu dia nggak pantas diplonco lagi."
Ngakak Kak Ella langsung padam. "Heh, sekali ini nggak lagi, deh." Dia memencet hidung saya. Untung tidak berbunyi 'tut' kayak klakson. Lalu lanjutnya, "Jangan kuatir, sekali ini saya serius banget. Bersungguh-sungguh!"
Justru pengakuan Kak Ella barusan malah membuat saya berkecil hati.
***
Saya selalu teringat bagaimana Kak Ella memakai kata 'plonco' untuk cowok-cowok yang dipermainkannya.
Ketika Kak Taufik tidak lagi muncul-muncul di rumah ini, kala ditanya enteng saja Kak Ella menjawab, "Ah, Taufik itu kan cuma saya plonco saja."
Heh, padahal sebelumnya, Kak Taufik itu rajin banget mengunjungi Kak Ella. Lalu Kak Anang yang rajin mengantarnya pulang kuliah, dan kini tidak pernah lagi kelihatan, Kak Ella juga bilang Anang itu cuma diplonco saja. Kemudian Kak Enal katanya juga diplonco, sampai tidak lagi nongol-nongol. Yang membuat saya kadang-kadang ikut sedih karena Kak Almy, yang seisi rumah tahu kalau mereka itu pacaran sejak kecil di kelas dua SMA, eh dianggap pula Kak Ella cuma dia plonco. Jadi, Kak Almy itu diplonco oleh Kak Ella sampai lebih tiga tahun?!
Dasar Kak Ella!
Bahkan, kalau saya mau repot-repot mengingat-ngingat yang lain, daftar cowok yang telah diploncoi oleh Kak Ella bakal bertambah panjang lagi. Sampai ke nama Bang Beng....
Suatu hari, sepulang kuliah, Kak Ella nyelonong ke kamar saya. Ditepuknya pundak saya, lalu seperti kebiasaanya selama ini tidak lupa dia pun memencet hidung saya.
"Kamu mau dengar cerita tentang Bang Beng?" ujarnya.
"Bang Beng?" Kening saya terlipat. "Ehm, nama cemilan itu, kan?"
"Uh, asal kamu, ya? Bang Beng itu adalah makhluk paling keren di Fakultas Ekonomi, you know? And, siap-siap saja dengar cerita bagaimana kakakmu ini menaklukkan makhluk super-tampan itu!"
Saya langsung melengos. "Memangnya banteng, sampai perlu ditaklukkan segala!"
"Eh, kamu bisa saja protes begitu karena kamu belum pernah merasakannya."
"Merasakan apa?" Rasaingin tahu saya muncul. "Merasakan bagaimana asyiknya menaklukkan cowok." Bibir Kak Ella sampai meor-meor bercerita. Saking asyiknya, barangkali. "Ada seninya, deh."
"Ujung-ujungnya paling untuk dibuat plonco lagi."
Kak Ella cuma tertawa menanggapi.
Dan itulah pertama kali saya mendengar nama Bang Beng beredar di rumah ini.
Selanjutnya, hampir setiap pulang kuliah ada saja cerita Kak Ella tentang Bang Beng. Karena keseringannya sampai saya menduga Kak Ella benar-benar jatuh hati pada nama itu. Jatuh cinta beneran!
Yang membuat saya ikut menaruh perhatian dibanding 'cowok-cowok plonco' Kak Ella sebelumnya, karena menurut cerita Kak Ella, Bang Beng itu suka juga menanyakan situasi keluarga kami. Eh, apakah itu berarti Bang Beng juga benar-benar jatuh hati pada Kak Ella, alias juga jatuh cinta beneran? Kalau begitu, mereka memang sudah klop!
Lalu tibalah pada hari yang tidak pernah saya duga ini. Bang Beng menelepon. Karena Kak Ella sedang keluar, maka saya yang menerima teleponnya. Ah, ngobrol dengan Bang Beng ternyata sangat menyenangkan.
Berawal dari situ, saya kemudian jadi ikut senang bila telepon dari Bang Beng berdering. Apalagi kalau Kak Ella pas tidak ada, maka yang menerima telepon pastilah saya. Rasa senang saya jadi berlipat-lipat tatkala pada percakapan via telepon yang keempat, Bang Beng menyatakan akan berkunjung ke rumah kami. Saat dia menyatakan begitu, rasanya saya mau melonjak-lonjak kegirangan.
Itulah kenapa saya begitu bersemangat ketika Bang Beng benar-benar datang. Sampai begitu bel ber-'ning-nong', saya menyerbu membuka pintu depan. Padahal, ah, dia datang ternyata bukan untuk saya, tapi untuk Kak Ella.
Saya mesti mengakui bila sesuatu telah terjadi pada diri saya. Suatu keanehan!
Entah kenapa, saya malah merasa gelisah melihat Kak Ella kian akrab dengan Bang Beng. Uh, bukankah saya seharusnya ikut senang? Bahwa Kak Ella benar-benar menepati janjinya, untuk tidak menjadikan Bang Beng sebagai cowok ploncoannya lagi?
Di kala termenung-menung sendiri, memang saya langsung menyadari bahwa perasaan saya itu salah. Tidak pada tempatnya. Tapi anehnya, di kala keakraban mereka terlihat lagi di depan mata saya, perasaan aneh itu datang lagi. Sepertinya saya tidak memiliki kemampuan untuk membendungnya.
"Itu tandanya kamu cemburu," pendapat Utari, ketika saya menceritakannya.
"Ah, kamu," elak saya. "Masak sih, saya mesti mencemburui kakak sendiri?"
"Lho, cemburu itu nggak mengenal saudara, En. Namanya juga cinta itu buta. Jadi, mana bisa membedakan antara yang saudara dengan yang bukan?"
"Aih, kamu kok ngomong soal cinta, sih?" Saya rasakan paras saya memanas. "Siapa yang cinta?"
"Datangnya cinta itu memang terkadang nggak kita sadari, kok. Tiba-tiba saja dia nongol, wusss, tahu-tahu sudah tembus ke dalam jantung. Deg! Gitu aja, tanpa kita sadari."
"Wuuu, kamu. Kecil-kecil sudah jadi pakar cinta. Kalau kelak sudah masuk SMA, wah kamu bakal jadi apa lagi, ya?"
Utari tertawa. "Mungkin saya sudah jadi pakar di bidang tragedi rumah tangga."
Ketika saling ngeledek dengan Utari itu, sama sekali tidak pernah terbayang bila ledekannya itu kelak akan menjadi kenyataan. Ah, jatuh cinta pada Bang Beng? Mana mungkin?!
Saya terpana. Takjub campur kaget. Kok Bang Beng ngomong begitu? Mana mungkin....
"Dalam hal seperti ini, nggak ada yang nggak mungkin, En. Kalau kita mau, kenapa nggak mungkin?"
"Maksud Bang Beng...."
"Yap. Kalau kita memang merasa saling menyukai, kenapa pula nggak mungkin untuk saling jatuh cinta?"
Di atas kepala kami, bentang langit begitu cerah. Geriap angin sore pun terasa begitu bersahabat di kulit. Tapi... entahlah, apakah saya sedang menikmati semua itu atau justru sedang sibuk mengurai benang kusut di dalam pikiran saya. Rasanya campur-aduk!
Ini semua berawal dari terlambatnya Kak Ella pulang dari rumah teman fitnesnya, hingga ketika Bang Beng muncul di rumah, sayalah yang menemaninya ngobrol. Sampai kemudian dia mengajak saya jalan-jalan.
Awalnya sih saya menganggapnya biasa saja. Letup-letup aneh yang muncul kemudian di dalam hati saya berupaya saya redam sendiri. Selesai melongok counter-counter di mal, mampir di pojok Texas Fried Chicken, lalu menyusuri trotoar, masih saja letup perasaan saya tersimpan dengan rapi. Saya menjaganya dengan baik.
Sampai kemudian Bang Beng melontarkan kalimat tadi.
"Kok kamu malah jadi murung begitu?" Bang Beng kembali mengagetkan saya. "Ah, ayolah, saya nggak ingin mendengar kamu bilang nggak suka sama saya."
Dari samping, saya menatap matanya. Entah kekuatan dari mana yang membuat saya seperti itu. Padahal, hanya Tuhan yang tahu, betapa bergetarnya badan saya.
"Memang bukan itu, Bang Beng," sahut saya akhirnya.
"Nah." Jemari Bang Beng terdecak. "Lalu, apa lagi?"
"Sepertinya Bang Beng lupa bagaimana Kak Ella...."
Kalimat saya terpotong oleh tawanya. "Jadi, kamu menyangka kami ada hubungan khusus, begitu?" ujarnya di sela tawa.
"Ah, setahu saya Bang Beng dengan Kak Ella malah pacaran."
Bang Beng semakin tertawa. Bahkan tawanya kali ini lebih nyaring dan lebih panjang. Sampai kemudian dia menyahut, "Uh, sudahlah. Mari kita pulang."
Di dalam perjalanan pulang, saya sibuk dengan rangkaian pikiran saya sendiri.
***
Saya kemudian jadi kelimpungan sendiri. Inilah akibat dari penyataan Bang Beng hari itu, ketika dia mengajak saya jalan-jalan. Uh, apakah tidak sebaiknya saya menceritakannya saja pada Kak Ella? Apa tanggapan Kak Ella nanti? Bakalan mengamuk di depan Bang Beng? Atau, uh, tidak perlu saya ngomong apa-apa pada Kak Ella? Biarlah ini menjadi rahasia saya dengan Bang Beng? Supaya... aduh, apakah bukan ini yang dinamakan selingkuh? Nyeleweng dari Kakak sendiri?
Setelah jemu membolak-balik badan di tempat tidur, hampir setengah jam kemudian, barulah saya memutuskan untuk bicara saja dengan Kak Ella. Setelah itu terserah tanggapan Kak Ella nanti. Siapa tahu dia malah tertawa. Siapa tahu dia pun menganggap Bang Beng sama saja dengan cowok-cowoknya terdahulu, sebagai cowok plonco doang.
"Hah, Kak Ella...." Di depan kamarnya saya malah nyaris pingsan berdiri. Apa yang tengah diperbuat Kak Ella ini?
"Kaget?" Kak Ella nyengir, sampai wajahnya tambah menyeramkan. "Ini namanya masker, En. Memang belum perhah lihat teman-teman kamu pakai beginian kalau dandan?"
Saya mengurut dada. Idih, jangankan teman-teman SMP saya yang masih culun-culun itu, seingat saya Mama saja tidak pernah saya lihat pakai 'topeng monster' beginian.
"Kirain mau main topeng monyet."
"Uh, kamu." Wajah Kak Ella balik lagi ke cermin di depannya. Dia kembali mematut-matut wajahnya.
"Untuk apa, sih?" selidik saya seraya duduk di tepi tempat tidurnya.
"Mau tahu aja kamu. Cowok aja belum punya."
Saya meringis, tapi tentu saja tanpa sepengetahuan Kak Ella. 'Cowok aja belum punya?'. Uh, kalau saya mau, Bang Beng itu sudah jadi cowok saya! rutuk saya dalam hati.
"Heh, kenapa malah melongo begitu?"
Ketahuan sedang memikirkan Bang Beng, saya jadi gelagapan juga. Buru-buru saya menetralkan pikiran saya kembali.
"Nggak usah kamu heran-heran begitu, ah. Nanti, kalau Bang Beng yang datang, nah, harusnya dia yang heran melihat kekasih tersayangnya kian cantik. Begittcchuu."
Rasanya seperti ada sengatan listrik yang mengaliri tubuh saya.
"Heh, malah makin heran. Belum tahu dia!"
Harusnya saya tertawa melihat gaya Kak Ella yang lucu. Tapi, yang dikatakannya tadi justru lebih menyita benak saya.
"Jadi... jadi, Kak Ella kepingin terlihat lebih cantik...."
"Di depan Bang Beng, pasti dong!"
"Bukankah...."
"Eit, no-no!" Jemari Kak Ella terkibas-kibas. "Saya tahu apa yang ada di pikiran kamu. Menyangka Bang Beng sebagai plonco lagi, kayak cowok-cowok yang dulu itu?" Wajah topengnya pun tergeleng-geleng. "Yang satu ini, nggak lagi deh! Kali ini saya serius, seriuuus banget! Saya sudah bertekad untuk menjadikan Bang Beng sebagai kekasih tersayang dan tercinta. Paling cinta, dan nggak bakalan ada lagi cowok lain yang mengisi hati ini. Ya, kecuali Bang Beng iut!"
Di depan Kak Ella, demi mendengar penuturannya tadi, rasanya saya kepingin berubah menjadi patung saja. Diam, diaaam saja, tanpa bisa bergerak-gerak.
***
Saya benar-benar terpana begitu melihat wajah di depan saya.
Bang Beng....
Oh, dia sampai menjemput saya di gerbang sekolah?
Untuk apa....
"Bang Beng?!" Akhirnya saya terpekik juga.
"Heran?" Bang Beng mengembangkan senyum. Senyumnya yang amat mempesona! "Saya menjemputmu begini karena nggak sabaran lagi menunggu sore."
Saya mengernyitkan kening. "Untuk?"
"Ya, mengajakmu jalan-jalan."
"Pakai seragam begini?"
"Nggak masalah. Paling kita cuma mampir makan burger sebentar, lalu mengantarmu pulang. Ada yang ingin saya katakan."
"Apa?"
"Bukan di sini dong, tempatnya."
Mudah-mudahan teman-teman sekolah saya tidak salah duga, pinta saya ketika menyurukkan badan ke dalam mobil yang dibawa Bang Beng. Mudah-mudahan mereka menduga salah seorang keluarga kami yang mendadak menjemput untuk urusan penting. Kalau mereka menduga lain, wah, besok muka saya entah mau diumpetin di mana.
"Kamu tahu, kenapa saya jadi tiba-tiba nggak sabaran begini sampai menjemputmu ke sekolah?" tanyanya di balik kemudi. Kemudian dijawabnya sendiri. "Karena semalam, setelah saya berpikir bolak-balik, akhirnya saya memutuskan sesuatu. Dan harus saya sampaikan secepatnya kepada kamu."
"Apa?" Saya mendongak ke wajahnya tiba-tiba.
"Saya merasa, saya mencintaimu!"
"Oh...."
"Eit, jangan protes apa-apa lagi." Tidak dihiraukannya perubahan mendadak di paras saya. "Mengenai soal Ella, saya pkir nggak ada masalah. Toh selama ini saya nggak pernah merasa serius dengan dia. Biasa aja."
Dengan cepat wajah Kak Ella berkelebat masuk ke dalam benak saya, kemudian teringat ucapan-ucapannya kemarin, bahwa kali ini dia sangat serius dengan Bang Beng. Dia merasa sangaaaat mencintainya. Kak Ella tidak ingin lagi menjadikan cowok tersebut hanya sebagai ploncoannya saja. Dengan Bang Beng, Kak Ella benar-benar serius!
"Bang Beng...."
"Kenapa?"
"Tapi, Kak Ella itu...."
"Ah, saya nggak merasa mencintainya, kok," potong Bang Beng. "Kamu tahu, di kampus dia itu suka banget mempermainkan cowok. Jadi kalau kami pisah, saya pikir itu nggak masalah bagi dia. Lagipula, uh, Ella itu bagi saya nggak lebih dari cewek ploncoan aja."
Tanpa sadar kepala saya tersandar ke jok. Entahlah, apakah saya harus tertawa atau menangis mendengar penuturan Bang Beng. Apakah saya harus sedih, gembira, atau malah terpekik-pekik.
Sekarang perasaan saya jadi campur aduk tidak karuan!
Pangeran Untukku
Bel tanda bubar siswa-siswa SMA TOP sudah berbunyi beberapa menit lalu. Satu kelas masih berkutat dengan pelajaran tambahan, sebagian besar siswa sudah pulang, sebagian lagi masih berbetah-betah di sekolah.
"Ema, kamu akan datang ke pesta Ester, kan?" tanya Marlin saat keluar dari pintu perpustakaan, usai mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya.
"Entahlah," jawabku singkat. Sejak menerima kartu undangan dari Ester aku memang sudah ragu akan memenuhi undangan itu. Ada persyaratan dalam undangan itu yang nggak bisa kupenuhi. Undangan harus datang bersama pasangannya.
"Kamu nggak yakin karena nggak punya pasangan, kan? Kita ke lapangan basket dulu, yuk. Barangkali Doni bisa membantu," ajak Marlin.
Aku tak menolak. Di sisi lapangan basket Marlin memanggil Doni. Cowok itu datang dengan cepat sambil tersenyum. Keringat yang mengalir di lehernya mempertegas ketampanannya. Kupikir, alangkah cocoknya pasangan Doni dan Marlin. Yang satu cantik, satunya lagi seperti Arjuna.
"Kami punya kesulitan, barangkali kamu bisa membantu, Don. Tentang pesta Ester. Ema belum punya pasangan datang ke sana," tutur Marlin.
Doni menganggukkan kepalanya sebentar. Ia kemudian berteriak memanggil salah seorang temannya yang tengah bermain basket. Cowok yang tingginya sedikit di atas Doni datang menghampiri.
"Oki, kamu belum punya pasangan untuk ke pesta Ester, kan? Kebetulah sahabat Marlin juga belum punya pasangan. Oh, iya kenalkan namanya, Ema!"
Aku mengangguk kecil. Aku sudah tahu nama cowok itu karena cukup populer di telinga gadis-gadis. Ia juga anggota dream team basket sekolah seperti Doni. Kabar terakhir yang sampai telingaku, Oki baru putus dari gadisnya.
"Aku belum bisa memberi kepastian, Don. Bagaimana kalau kuberi jawabannya besok? Pesta itu masih seminggu lagi ini," sahut Oki sambil menyeka keringatnya.
"Tak masalah," timpalku.
Aku dan Marlin segera meninggalkan lapangan basket. Cukup panas juga udara siang ini. Herannya, Doni dan teman-temannya tetap tahan main basket. Barangkali karena itulah mereka jago memainkan bola basket itu.
"Aku nggak akan datang ke pesta Ester kalau kamu nggak datang, Ema," gumam Marlin menjelang pintu gerbang sekolah.
"Kamu nggak bisa begitu. Doni akan marah nanti."
"Oleh sebab itu kamu harus mau datang. Eh, itu Ester!" Marlin melambaikan tangannya ke seberang jalan. Ester berjalan menyeberang mendekati kami.
"Marlin, kamu harus membawa Doni ke pestaku nanti. Sekalian mengumumkan bahwa hubunganmu dan Doni serius. Habis sudah seminggu pacaran kamu jarang terlihat bareng dia di sekolah. Kamu juga harus datang. Aku penasaran ingin tahu siapa pasanganmu, Grandma," kata Ester kepadaku seraya mengibarkan sisa undangan di tangannya.
Aku cuma tersenyum. Di antara teman sekolahku, cuma Marlin dan barangkali Doni yang memanggil namaku dengan benar. Sisanya memanggilku dengan julukan kudapat sejak kelas satu, yakni Grandma alias Nenek!
"Kami akan datang, Ester. Tenang saja. Kamu sendiri akan berpasangan dengan siapa nanti? Alford, Lloyd, Peter...."
"Hermawan," Ester memotong kalimat Marlin. "Bukan anak sekolah kita. ia teman kuliah abangku di Swiss. Dia jauh lebih segala-galanya dari kunyuk-kunyuk yang kamu sebutkan tadi. Eh, sudah yah. Jemputanku sudah datang. Dah, Marlin, Grandma!"
Ester masuk ke dalam BMW yang menjemputnya itu meninggalkan kami.
"Kamu sudah berjanji pada Ester, itu berarti kita akan benar-benar datang," kataku kemudian.
"Memang. Pesta ulangtahunnya di Eldorado pasti akan ramai. Kamu sendiri kan pernah bilang belum pernah ke pesta ulangtahun teman-teman kita sebelumnya dan ingin sekali-kali melihatnya," Marlin mengungkit kalimatku dulu.
"Ya, tapi bukan pesta yang harus dengan pasangan. Kurasa kalau aku nggak datang pada pesta Ester, aku bisa melihat pesta ulangtahun teman kita lainnya."
"Sudahlah, kita tunggu saja kabar dari Oki besok," tepis Marlin sambil mencegat angkutan umum. Kami berpisah karena tujuan kami berlawanan arah. Padahal aku masih ingin mengucapkan sebuah kalimat; kamu baik sekali padaku, Marlin.
***
Ketika aku mendengar kabar bahwa Oki nggak bisa menjadi pasanganku di pesta ulangtahun Ester, aku nggak merasa sedih maupun kecewa. Aku sudah menduga sebelumnya. Mana mungkin salah seorang anggota dream team mau menjadi pasangan seorang gadis yang berkacamata dengan bingkai tebal, rambutku yang panjang cuma dikepang tanpa hiasan pita ataupun bando, dan sama sekali nggak populer di sekolah.
"Tenang, Ma. Aku sudah mempersiapkan pengganti Oki," hibur Marlin di saat istirahat. "Semalam aku sudah ngobrol dengan kakakku. Ia kebetulan tak punya acara malam Minggu nanti."
"Kakakmu bersedia? Itu kan karena ia belum mengenalku. Kalau ia tahu aku, pasti ia akan membatalkan kesediaannya itu."
"Kamu juga belum mengenalnya, kan? Jadi jangan sembarangan menudingnya sama seperti Oki. Kakakku baik. Sebagai mahasiswa, meski baru tingkat dua, ia sudah bisa berpikir dewasa, dapat menilai mana gadis yang pantas menjadi pasangannya ke suatu pesta," Marlin kelihatan agak sewot.
"Maaf, bukan maksudku menuduh kakakmu sejahat itu. Tapi yang jelas, aku dan kakakmu belum saling mengenal," kataku buru-buru.
"Bagaimana kalau pulang sekolah nanti kamu ke rumahku dulu? Hari Selasa kakakku nggak ada kuliah," usul Marlin.
Aku mengangguk setuju. Sebenarnya aku agak kuatir dengan rencana Marlin. Yang kukuatirkan, bisa saja kakaknya itu mau memenuhi permintaan Marlin lantaran setengah dipaksa. Kepergian kakak Marlin denganku nanti nggak tulus. Namun untuk menolak rencana Marlin aku nggak sanggup. Ia pasti sudah setengah mati berupaya mencari pasangan untukku.
Pulang sekolah aku langsung ke rumah Marlin. Ini kunjungan pertamaku ke rumahnya, sejak kami bersahabat empat bulan lalu saat kami duduk sebangku di kelas dua. Bisa jadi ini juga untuk pertama kalinya aku mengunjungi rumah teman sekolahku.
Sejak dulu aku memang menutup diri. Setiap ada acara kelas yang mengharuskan kumpul di rumah salah seorang temanku, aku tak pernah datang. Entahlah, aku tak merasa kehadiranku akan berarti apa-apa. Ada aku ataupun nggak semuanya akan berjalan lancar. Begitu pun dengan kegiatan di sekolah. Di kelas satu aku cuma ke sekolah untuk belajar, begitu bel pulang berbunyi aku langsung pulang ke rumah.
"Pasti cucumu di rumah banyak sekali yang harus kamu urus," begitu komentar teman-temanku di kelas satu. Dan satu persatu mereka mulai memanggilku Grandma. Mulanya aku agak risih, tapi lama kelamaan terbiasa juga.
Tapi sejak aku mengenal Marlin, sedikit demi sedikit aku mulai berubah. Dengan segala kebaikannya, Marlin mulai membuka diriku untuk mau sedikit peduli dengan sekelilingku. Ia beberapa kali mengajakku melihat pertandingan basket di sekolah, mengajakku ke kantin dan ngobrol dengan teman-temanku yang lain.
"Ini kakakku, Ema. Namanya Budi Sutanto. Aku memanggilnya Kak Budi tersayang," ucap Marlin setelah beberapa menit membiarkan aku duduk sendirian di ruang tamu. Bersamanya, seorang cowok mendekatiku dan menjabat tanganku.
"Nama saya Ema...." Aku agak gugup menyebut namaku sendiri. Sebelum tiba di rumah Marlin, aku sudah berpikir kalau Marlin sudah secantik bidadari, pasti kakaknya akan setampan pangeran. Tapi bayangan yang ada di benakku ternyata jauh sekali. Kakak Marlin lebih tampan dari seorang pangeran yang pernah kubayangkan. Itulah yang membuatku tiba-tiba saja ingin segera pulang dan menyesal mengenalnya.
"Nah, kalian ngobrol saja dulu. Buat janji bagaimana rencana untuk pergi nanti. Aku mau ganti pakaian dulu." Marlin meninggalkanku.
Aku jadi ingin tahu apa yang pantas diucapkan seekor itik buruk rupa bila bertemu dengan seorang pangeran.
"Marlin banyak cerita tentang kamu. Katanya kamu cerdas. Kamu sering mengajarinya pelajaran-pelajaran yang nggak ia mengerti," kata Budi membuka percakapan. Ia menatapku lekat-lekat, membuatku semakin tak berani melihat wajahnya.
"Marlin terlalu melebih-lebihkan. Justru Marlin yang baik pada saya, Kak Budi. Saya nggak tahu kalau Tuhan nggak memperkenalkan Marlin pada saya."
"Yang pasti kita nggak akan bisa kenalan dan pergi ke pesta ulangtahun teman kalian itu," sahut Budi. Menyesalkah ia?
"Soal pesta itu, saya tak keberatan kalau ternyata Kak Budi ingin membatalkannya," kataku kemudian.
"Aku sudah berjanji pada Marlin. Lagipula akan menyenangkan jika pergi ke sebuah pesta dengan gadis SMA secerdasmu. Atau kamu yang keberatan, Ema?"
Aku terdiam. Apa yang memberatkanku sekarang? Paling persiapan batin karena aku yakin nanti semua mata di pesta akan memandangku aneh. Lihat, Grandma ternyata punya seorang cucu yang jadi pangeran, komentar mereka. Dan aku tentu saja harus siap mendengar itu. Atau yang lebih menyakitkan sekalipun. Daripada aku harus membuat Marlin kecewa. Bukankah ia selalu serius dengan ucapannya, sedang ia sudah berjanji tak akan pergi ke pesta itu bila aku nggak pergi.
"Aku akan menjemputmu jam tujuh. Pesta itu mulai jam delapan, kan? Aku sudah memperhitungkan waktu perjalanan ditambah kemacetan jalan sekitar Eldorado nanti," kata Budi lagi.
Aku mengangguk. "Mudah-mudahan Kak Budi nggak repot karena saya," kataku kemudian.
Marlin muncul tak lama kemudian. Ia menanyai kakaknya soal rencana ke pesta itu. Aku memberitahu bahwa kami sudah membuat janji.
"Bagus. Kalau begitu beres, aku juga bisa membuat janji dengan Doni besok. Oh, iya bagaimana kalau pulang sekolah besok kita cari kado buat pesta ultah Ester?" ajak Marlin.
"Bisa aja," jawabku cepat. Dan aku juga mungkin akan membeli gaun yang pantas untuk pergi bersama Budi nanti. Belanja bersama Marlin mungkin akan membantuku untuk memilih mana gaun yang pantas untukku.
***
Rabu siang sepulang sekolah aku dan Marlin melaksanakan niat untuk belanja lebih dulu. Aku nggak nyangka kalau Budi akan menunggu kami di gerbang sekolah. Dengan mazda putihnya ia mengantar kami ke Bandung Indah Plaza. Sebenarnya itu keterlaluan. Jarak sekolahku ke Jalan Merdeka tak sampai dua kilometer.
"Biar saja Kak Budi mengantar kita. ia harus terbiasa bersamamu, Ema. Kamu akan merasa janggal tiba-tiba pergi ke suatu pesta dengan mahkluk asing, bukan?" gumam Marlin seperti membaca pikiranku.
Tapi Marlin tak membiarkan kakaknya terus menguntit kami. Menurunya, Budi tak boleh tahu gaun apa yang akan kupakai nanti. Kurasa benar juga apa yang dikatakan Marlin.
Ada tiga gaun yang kusukai. Marlin membantu menentukan mana gaun yang terbaik untukkku. Sebuah gaun berwarna biru pastel akhirnya kubeli. Sementara Marlin membeli gaun dengan warna yang lebih cerah.
Usai belanja Budi kembali bergabung bersama kami. Sambil menikmati ayam dan kentang Texas, kami ngobrol banyak sekali. Tepatnya, Budi dan Marlin berusaha membuatku banyak bercerita karena mulanya aku cuma jadi pendengar setia saja.
***
Dan hari ini, sepulang sekolah untuk pertama kalinya aku mengajak Marlin ke rumahku. Kubawa ia langsung ke kamarku.
"Astaga kamarmu besar sekali. Cuma seharusnya kamu punya ruang sendiri untuk buku-bukumu ini, Ema," komentar Marlin. Ia tersenyum ketika membaca beberapa buku psikologi populer tentang remaja gaul.
"Aku tertarik membelinya sejak bersahabat denganmu," kataku.
Sesuai janji, aku mencoba gaun yang kubeli kemarin. Gaun itu pas untukku, tapi rasanya ada yang janggal ketika aku bercermin.
"Rambutmu lepas dulu, Non. Kamu nggak bisa ke pesta dengan rambut dikepang begitu. Biarkan rambutmu terurai," saran Marlin.
"Bagaimana kalau disanggul kecil saja. Rambutku terlalu panjang bila digerai. Jangan-jangan nanti aku dikira kuntilanak."
"Bagaimana kalau dipotong? Jangan terlalu pendek, aku juga tak akan setuju. Kebetulan Sabtu siang aku juga punya rencana ke salon."
Aku berpikir sebentar. Kalau Nenek masih ada, pasti ia akan melarang. Tapi sejak kepergiannya ke surga dua bulan lalu tak ada lagi yang membantu mengurus rambutku ini. Nenek pasti tak akan marah kalau kupotong rambutku.
"Baiklah," kataku akhirnya.
"Percayalah, kau pasti akan kelihatan lebih cantik. Dan teman-teman pasti akan iri melihatmu, Ema."
Benarkah? Benarkah aku menjadi cantik? Ah, bagiku yang terpenting bisa menjadi pasangan yang tak terlalu mengecewakan Budi nanti.
Setelah melepas kembali gaunku, aku duduk berdua di atas tempat tidurku dengan Marlin. Mata Marlin menatap tajam ke arahku. Aku yakin ada sesuatu yang ingin diceritakannya.
"Aku ingin menceritakan sesuatu tentang kebaikanku selama ini. Mungkin kau sering menanyakan itu dalam hati," kata Marlin kemudian.
Aku mengangguk. Marlin tak lantas melanjutkan ceritanya. Ia malah mengeluarkan selembar foto dari tasnya. Wajah seorang cowok berkacamata dengan gagang hitam dan tebal, rambutnya tak berbentuk, dan... meski aneh tapi sekilas aku mengenalnya.
"Ini foto kakaku tiga tahun lalu, waktu ia masih SMA. Teman-teman sekelasnya memanggil kakakku dengan julukan Gepetto. Kamu tahu kan tukang kayu yang membuat Pinokio? Dan tak pernah ada gadis yang mau pergi dengannya pada suatu pesta kelas. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Kebetulan aku agak bongsor, jadi aku tak keberatan ketika kakakku minta aku mendampingi ke pesta yang harus didatanginya itu."
Marlin diam sejenak menghela napas. Matanya menerawang ke langit-langit.
"Tapi dasar kakakku terlalu tak acuh dengan penampilannya. Meski aku telah menyarankannya untuk rapi sedikit, ia menolak. Akibatnya di pesta itu kakakku diolok-olok habisan. 'Lihat, Gepetto berhasil mengajak seorang Peri' dan lain-lainnya. Dadaku sakit mendengar olok-olok itu. Aku menangis di rumah dan berjanji untuk mengubah penampilan kakakku." Mata Marlin basah oleh emosinya.
"Pada mulanya aku mengalami kesulitan. Namun sewaktu diam-diam kutahu ia mulai naksir salah seorang gadis, akhirnya ia mau juga mengubah dirinya. Kacamatanya diganti, rambutnya dipotong sesuai dengan wajahnya, kuganti majalah ilmiahnya dengan majalah-majalah populer. Waktu itu dunia seperti terbalik, aku jadi kakaknya dan ia jadi seorang adik yang penurut."
Dapat kubayangkan seperti apa kejadiannya. Tentu tak jauh seperti yang kualami.
"Tak lama kemudian telepon teman-teman ceweknya mulai berdatangan. Kak Budi sempat memacari gadis yang ia taksir itu, tapi putus lantaran ternyata gadis itu cuma menyukai ketampanan kakakku saja. Sampai sekarang ia belum pacaran lagi. Bagiku itu tak masalah, asalkan ia tak lantas kembali seperti Gepetto lagi. Astaga, kamu menangis, Ema!"
Aku menyeka airmata yang jatuh tanpa kurasakan. "Bagaimana aku tak terharu, Marlin. Di depanku kini ada seorang peri yang nggak cuma baik terhadap kakaknya, tapi juga sahabatnya. Bagaimana aku mesti membalasmu kelak?"
"Kalau tak keberatan, cukup dengan memberi respon pada kakakku. Sejak mengenalmu dulu, aku sudah menceritakan tentangmu pada Kak Budi. Ia tertarik untuk berkenalan denganmu. Tapi kupikir itu belum waktunya. Sampai kemarin-kemarin ini. Kamu tahu apa komentarnya setelah kita ngobrol di Texas. Katanya, kamu nggak cerewet, tapi sekali ngomong benar-benar bermutu. Kakakku memang suka tipe gadis cerdas sepertimu."
"Pasti ia banyak menemukan gadis seperti itu di kampusnya," timpalku berusaha untuk menahan perasaanku.
"Mungkin saja. Aduh, Ema, apa kamu selalu membiarkan tamumu mati kehausan?"
Aku tergelak mendengarnya.
***
Jangan tanya seperti apa perasaanku ketika mematut diri di depan cermin usai berdandan. Aku jadi tahu seperti apa takjubnya Cinderela ketika Peri Biru membantunya agar dapat pergi ke pesta istana.
Mama yang melihatku begitu aku keluar kamar terpana beberapa detik. Ia seperti nggak mengenalku pada mulanya.
"Ema! Benarkah ini anakku? Kamu benar-benar berubah, Ema," Mama merangkulku hati-hati. Takut membuat gaunku kusut.
Aku menunggu kedatangan Budi di ruang tamu ditemani Mama dengan cemas. Setengah jam lalu Marlin sudah memberi kepastian lewat telepon kakaknya akan menjemputku.
Kulalui penantianku dengan mengamati jarum jam dinding. Ketika waktu menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit kecemasanku berubah bentuk. Batalkah Budi menjemputku? Aku mencoba untuk bersabar.
Kesabaranku benar-benar berubah ketika lima belas menit kemudian berlalu tanpa bunyi bel sekalipun. Mama yang melihat kegelisahanku lantas meremas jemariku.
"Bersabarlah, Ema. Barangkali ada sesuatu yang menghambat perjalanannya. Mama yakin akan ada seorang pangeran yang datang untukmu malam ini," hibur Mama sambil mengelus rambutku.
Ucapan Mama ternyata benar. Semenit kemudian bel rumah berbunyi. Aku terkejut ketika membuka pintu mendapatkan Budi dalam sosok yang lain.
Sisiran rambutnya berantakan, lengan bajunya kusut bekas digulung, dan mukanya berpeluh.
"Maaf aku terlambat, Ema. Ban mobilku meletus di tengah jalan. Terpaksa aku menggantinya lebih dulu. Dasar aku kurang ahli, tanganku sampai belepontan Cuma untuk mendongkrak dan mengganti ban saja," ucapnya membuatku tersenyum.
Aku memaklumi alasan itu. Kubawa ia ke dalam rumah untuk kukenalkan pada Mama. Budi sempat pula ke kamar mandi untuk merapikan kembali dirinya.
Dalam hatiku mulai kurasakan sesuatu yang tak biasa sejak mendengar kalimatnya tadi. Ia mau berkorban untukku seperti itu. Sikap yang benar-benar menyentuhku dan mampu mengubah kekagumanku yang mulanya kutujukan pada sosoknya, kini lebih tertuju pada pribadinya.
"Ema, aku bisa minta tolong padamu? Terus terang aku yang lagi kesulitan," ucap Budi sesaat setelah kami berada dalam mobilnya.
"Kak Budi sudah mau menolong saya, masak saya nggak mau sih? Tentu saja kalau saya mampu. Boleh saya tahu, apa yang bisa saya bantu?"
"Ada teman kuliahku yang akan tunangan minggu depan. Dia mengundang semua temannya, cuma dengan satu syarat. Undangan harus datang dengan pacarnya, bukan sekadar pasangan bohongan. Bisa saja aku mengajak Marlin, tapi temanku itu sudah tahu Marlin adikku. Kamu keberatan kalau kujemput malam Minggu depan sekali lagi? Tentu saja aku nggak akan mengulangi ketololanku malam ini, datang terlambat."
"Baiklah, saya tak keberatan. Bila ternyata Kak Budi menemukan pasangan untuk ke pesta itu selain saya, saya tak juga keberatan bila kemudian kak Budi membatalkannya," jawabku segera. Aku tak ingin terlalu banyak berharap. Tuhan sudah mengutus seseorang untuk menjemputku ke pesta malam ini saja aku sudah bersyukur.
"Aku nggak akan mengubah ajakanku ini. Kamu mau tahu sebabnya. Lantaran malam ini kamu kelihatan cantik sekali!" puji Budi sambil menatapku sekilas.
Aku tak kuasa menahan perasaanku. Pujiannya sanggup membuatku melayang. Heran, padahal saat Mama mengatakan kalimat serupa tadi, perasaanku tak terombang-ambing begini? Apa artinya ini ya?
Selubung gurat hati
Peluit time out dibunyikan wasit di sisi lapangan. Pertandingan basket itu terhenti sejenak. Klub Rajwali yang menempati sisi kanan kelihatan agak tegang. Mereka sudah memimpin angka sejak awal pertandingan, namun klub lawan kini mulai mengejar.
"Arlan, kamu diganti dulu sama Cali," pelatih yang keringatnya hampir menyamai para pemain itu memberi instruksi sesuai dengan yang direncakanannya.
Arlan mengangguk. Ia mengambil tempat duduk di barisan untuk pemain cadangan. Matanya terarah ke sudut tribun penonton. Mencari sosok yang memporakporandakan konsentarasi bertandingnya tadi.
Cewek berambut panjang dengan blus biru itu tak ada lagi di tempatnya.
"Permainanmu kacau sekali, Lan," komentar Mas Aji yang tahu-tahu sudah duduk di sebelah Arlan. Ia agak senewen melihat permainan muridnya tadi. Tembakan three point yang biasa dihasilkan semuanya gagal.
"Janji deh, nanti kalo dipasang lagi nggak bakalan kayak tadi," timpal Arlan. Ia meneguk sebagian air minerlah miliknya.
"Pamit sebentar mau ke belakang ya, Mas."
Pelatih itu cuma mengangguk sambil tetap memandang ke tengah lapangan. Pertandingan kian seru.
Arlan berjalan cepat. Yang ditujunya bukan kamar kecil, ia malah menembus pintu ke luar. Matanya terus mencari-cari Cewek yang dilihatnya di tribun tadi. Kalo ia menghilang dari tribun itu mestinya ia pergi ke luar.
"Arlan! Kamu bukannya lagi bertanding? Kok di luar sih?" suara tanya itu mengejutkan Arlan. Seorang Cewek manis berambut sebahu mendekatinya.
"Aku lagi nggak kepake dulu. Ya, keluar cari angin sebentar kan nggak dilarang. Bagaimana rapat senatnya tadi?" Arlan teringat kesibukan Ratri sore ini.
"Agak tersendat dibandingkan sebelumnya. Makanya aku telat datang kemari," jawab Ratri. Ia menjajari langkah Arlan ke dalam gelanggang olah raga.
"Kamu duduk di sini saja. Biar nggak susah aku nyari kamu nanti. Eh, mau nunggu sampai aku pulang, kan?" tanya Arlan sambil membiarkan Ratri duduk di barisan paling depan.
"Iya. Asal kamu main bagus!" Ratri tersenyum.
Arlan kembali ke bangku cadangan bergabung dengan tim lainnya. Baru sepuluh menit kemudian ia sudah dipanggil lagi untuk mengisi lapangan. Sebuah tembakan three point diciptanya semenit kemudian.
Ratri terpekik girang melihat aksi Arlan. Matanya terus melekat pada sosok cowok itu. Bukan pada permainan basket yang sebenarnya memang tak pernah ia sukai.
***
Duduk di taman kecil depan perpustakaan kampus kerap dilakukan Arlan bila tak tahu apa yang harus dikerjakannya sambil menunggu kuliah berikutnya. Mengedarkan pandangan sambil melamun memang jadi keasyikan tersendiri buatnya.
Nggak jarang matanya tertumbuk pada sosok cewek cantik. Tapi hatinya buru-buru menyisihkan hasrat yang kemudian timbul. Sebuah nama di masa lalu telah menciptakan kenangan yang menggurat di hatinya....
Maharani jadi siswa baru kelas dua. Ia langsung populer dengan kecantikannya ditambah lagi mobil mewah yang bergantian mengantar-jemputnya. Banyak cowok berusahan mendekati, tapi semua harus puas dengan mimpi mereka saja tanpa berhasil mewujudkannya. Sementara sebagian dari mereka mimpi pun sudah tak berani, termasuk Arlan yang duduk di belakang Rani.
Sampai suatu siang sepulang sekolah, sewaktu Arlan hendak menghidupkan motornya.
"Arlan, mau nolong aku nggak?" suara Rani mengejutkannya.
"Asal aku sanggup."
"Aku harus buru-buru ke rumah. Tapi jemputanku belum datang juga. Aku...."
"Mengantarmu dengan motorku ini? Apa kamu nggak risih?"
"Sudahlah. Mau apa nggak?"
Arlan langsung menyambar helm yang tergantung di stang motor di sebelahnya. Ia menyodorkan helm itu kepada Rani. "Ayolah. Tapi kalo kamu masuk angin aku nggak tanggung," Arlan menghidupkan motornya dan membiarkan membonceng.
Ternyata itu jadi sebuah awal dari jalinan manis antara mereka. Beberapa kali Rani membonceng Arlan. Sampai akhirnya Arlan merasa perlu mengungkapkan isi hatinya.
"Kamu mau jadi pacarku, Ran?" tanya Arlan sehabis mengajak Rani menyaksikan pertandingan basket antarkelas.
Rani mengangguk dan tersenum. "Tapi dengan syarat kamu jangan sampai datang ke rumahku," katanya kemudian.
"Kenapa?"
"Papa melarangku pacaran."
"Backstreet juga okelah," angguk Arlan mantap. Siapa tahu waktu mengubah hal itu.
Tapi waktu tak pernah memberi kesempatan untuk mengubah hubungan mereka menjadi lebih baik. Lima bulan berlalu tetap saja mereka harus pacaran umpet-umpetan. Malah tiba-tiba waktu mengubahnya menjadi amat pahit.
Arlan membonceng Rani sepulang sekolah. Dan kecelakaan yang tak pernah diinginkan siapa pun itu terjadi. Arlan lukan gores di tangan dan kaki. Tapi Rani sampai gegar otak.
Langit buat Arlan benar-benar runtuh kemudian. Rani menghilang entah ke mana. Usaha yang dilakukannya cuma membuat panjang kepedihannya.
Rani....
Arlan tersentak dari lamunannya. Sekelebat ia melihat bayangan punggung seorang cewek. Ia berambut panjang. Dan gaun biru yang dipakai itu sama persis dengan gaun yang dibelikan Arlan di hari ulangtahun Rani yang ke tujuhbelas.
Arlan berlari mengejar sosok itu ke dalam perpustakaan. Tapi di pintu masuk langkahnya tertahan.
"Arlan, aku cari-cari kamu dari tadi," Ratri langsung mendekatinya. "Bagaimana dengan final invitasi antarklub itu?"
"Jadi besok malam. Kamu mau nonton?"
"Kebetulan nggak ada kegiatan. Sudah makan siang? Ke Gelael yuk. Lapar, nih."
Arlan menurut saja. Sulit untuk menolak setiap ajakan Ratri. Cewek ini memang seperti hampir kebanyakan anak orang berada, semua kemauannya harus dipenuhi. meski Ratri berusaha menutupinya dengan berorganisasi di senat, sifat manja itu amat dirasakan Arlan. Tapi lepas dari itu semua, Arlan lagi-lagi harus bersyukur bisa dekat dengan cewek yang diincar banyak temannya. Seperti dulu seperti Rani....
Arlan mendesah mengingat nama itu. Dan siapakah cewek bergaun biru itu?
"Kamu kelihatan gelisa, Lan?" tanya Ratri.
"Nggak apa-apa," sembunyi Arlan.
"Sungguh?"
"Sungguh." Arlan menatap bola mata Ratri agar lebih meyakinkan. Dan hatinya senantiasa bergetar usai menatap binar bola mata itu. Binar itu mirip sekali dengan milik Rani.
Mereka masuk ke Lancer merah Ratri. Sambil menghidupkan mesin Ratri berujar, "Dulu kamu pernah cerita SMA kamu, SMA 5, kan?"
"Iya. Lumayan ngetop di Bandung sini. Kalo SMA di Jakarta barangkali bisa disamain dengan SMA kamu itu."
"Biasanya sekolah ngetop pada cakep-cakep ceweknya," lanjut Ratri
"Memang."
"Masak sih, kamu benar-benar nggak punya pacar di sana?"
Arlan tak menjawab. Ia memang selalu berupaya merahasiakan jalinan cintanya dengan Rani.
"Pasti kamu pernah patah hati ya, sampai akhirnya kebawa ke masa kuliah. Patah hati sih boleh aja, asal jangan jadi dingin, Lan."
"Dingin?"
"Lho, kamu nggak ngerasa kalo kamu tuh cowok yang dingin. Nggak pernah ngobrol dengan siapa pun di kampus selain aku. Mainnya aja cuma sendirian di taman perpustakaan."
Arlan cuma tersenyum. Ia yakin Ratri tengah memancingnya untuk cerita soal masa lalunya. Sudah sering Arlan membaca gelagat itu. Belum, belum tiba saat untuk itu semua, Arlan membatin.
***
Nggak tahu, sampai berapa lama lagi kau bisa bertahan begini. Mencari, menunggu, mengejar bayanganmu yang hilang entah ke mana. Sementara sisi hatiku telah hampa begitu lama. Akankah kamu salahkan aku bila saat ini sebuah nama hadir mengisi kehampaan itu? Nggakkah kamu akan merutukku tak setia dan mengutukku agar mengalami luka itu lagi?
Kalo saja nggak kulihat lagi kelebat bayangmu belakangan ini, aku sudah memasukkan namanya pada hari-hariku. Dan bila bayangmu itu tak juga dapat kuraih, akan kuakhiri penantianku ini....
Arlan menutup buku catatannya. Buku yang isinya melulu tentang Rani dan sejuta harapan yang menggurat di hatinya. Hampir dua tahun penantian itu terjadi.
Ia beranjak untuk bersiap ke gelanggang olahraga. Rani... Ratri... nama itu terus mengiringi desah napasnya. Satu sisi hatinya ingin agar Arlan segera memberi kepastian kepada Ratri tentang hubungan yang mereka jalin. Sementara sisi lain hatinya justru ingin mempertahankan kasih Rani.
Briefing yang diberikan pelatih menjelang pertandingan final invitasi antarklub bola basket se-Bandung nyaris tak digubris Arlan. Begitu masuk ke sisi lapangan matanya langsung mengitari tribun penonton.
"Nyari pacarmu, Lan?" usik si Jangkung, Oki.
"Sembarangan. Ratri bukan pacarku," kilah Arlan.
"Tapi setia banget, ya. Cuma kali ini kayaknya telat lagi."
Arlan cuma nyengir. Bangku yang biasa diduduki Ratri sudah diisi orang lain. Tapi bangku di sudut lain itu masih kosong. Tempat favorit Rani bila menyaksikan Arlan bertanding.
Priit. Peluit wasit memanggil peserta berbunyi. Arlan bersama timnya langsung memenuhi lapangan. Rebutan bola segera dimulai seiring tiupan peluit.
Lawan kali ini cukup tangguh. Lima menit pertama nyaris dilalui Arlan hanya dengan mengover bola. Baru kemudian akhirnya ia mendapat bola tanpa dihadang. Ada kesempatan untuk menciptakan three point. Cuma saat bola itu diangkat mata Arlan menangkap sosok cewek bergaun biru di tempat duduk kosong itu. Tempat yang sama diduduki cewek itu saat babak penyisihan lalu.
Lemparan bola Arlan tak sampai ring, untungnya sempat diraih Tio. Tapi peluit wasit berbunyi lantaran pelatih klub Rajawali meminta time out.
"Konsentrasimu kacau sekali, Lan!" hardik Mas Aji saat timnya mendekat.
"Sori, Mas. Diganti dulu deh," usul Arlan.
"Pacarnya belum datang sih, Mas," celetuk Tio.
Mas Aji setuju. Ia memanggil Alford yang tingginya 185 senti. Pertandingan dimulai lagi.
Arlan langsung mengarahkan pandangannya ke tribun penonton di seberangnya. Agak sulit juga untuk menyidiki wajah cewek yang masih terduduk di sana itu. Apalagi wajahnya menunduk, seolah tahu sedang diamati Arlan.
Cewek itu beringsut ke pinggir dan berjalan cepat meninggalkan tempat duduknya. Arlan reflek berdiri.
"Mas, saya pamit ke belakang sebentar," izin Arlan.
"Dasar beser! Baru main beberapa menit!"
Arlan bergegas mengayunkan langkahnya. Cewek itu pasti keluar. Siapakah dia? Ranikah? Mengapa begitu misterius?
Sampai di ambang pintu keluar, Arlan masih sempat menangkap kelebat bayangan cewek itu menuju tempat parkir mobil. Arlan menyusul. Tapi napasnya tertahan sewaktu melihat cewek itu meluncur dengan Katana biru.
"Arlan!" suara khas itu mengejutkan Arlan.
Ratri baru hendak keluar dari Lancernya.
"Jangan turun. Antar aku," Arlan langsung menyerbu masuk ke dalam mobil. Suatu kebetulan yang menguntungkan.
"Ada apa ini?" Ratri bingung melihat Arlan panik.
"Kamu lihat Escudo tadi, kan? Tolong disusul."
"Orang di dalam mobil itu beberapa kali menguntitku. Aku penasaran. Kurasa kita belok kiri, Rat. Nah, itu mobilnya!" Arlan mengarahkan jarinya ke depan, nyaris menembus kaca.
Mobil yang mereka kejar melaju kian kencang, masuk ke jalan agak besar. Ratri membelokkan mobilnya tiba-tiba. Arlan tercengang.
"Kenapa membelok, Rat?" tanya Arlan.
Ratri tak menjawab. Ia malah membawa mobilnya ke jalan yang agak sepi sampai akhirnya ke pelataran parkir sebuah kompleks pemakaman umum. Suasana hening menyergap mereka.
"Ada yang ingin kuutarakan padamu, Lan. Barangkali aku terlalu lancang...." Ratri menggantung kalimatnya, menunggu reaksi Arlan.
Tahu Arlan hanya membisu, Ratri keluar dari mobil. Tubuhnya lantas bersandar pada badan mobil. Arlan dihinggapi sejuta tanya. Belum terpecahkan persoalan yang satu, sudah muncul soal lainnya.
"Barangkali aku harus menceritakannya dari pertama padamu," Ratri membuka mulutnya lagi. "Dimulai dari perkenalan kita. Terus terang kamu langsung menyita perhatianku begitu kukenal. Tentu saja aku punya batasan untuk mengungkapkan perasaanku itu."
Arlan merasakan hal itu.
"Cara yang kulakukan untuk menarik perhatianmu kupikir sudah tepat. Tapi rupanya ada selubung misteri yang menutupi hatimu. Segala upaya kulakukan untuk memancingmu, tapi kamu seperti enggan membukanya. Katakanlah, kenapa, Lan?"
"A-aku... aku tak bisa menceritakannya...."
"Kurasa kini memang tak perlu lagi, Lan. Waktu yang membelaku memberitahukan itu semua. Satu bulan lalu aku main ke tempat Oom-ku. Kutempati bekas kamar sepupuku. Tanpa sengaja aku menemukan tempat rahasia menyimpan buku harian sepupuku itu, Lan. Isinya banyak bertutur tentangmu dan cerita cinta rahasia kalian berdua...."
"Rani? Dia sepupumu? Di mana dia sekarang?"
"Setahun yang lalu dia telah meninggalkan kita," nada suara Ratri melemah.
Arlan mendongakkan kepalanya ke langit. Gara-gara kecelakaan itukah?
"Kamu tak perlu merutuki dirimu sendiri, Lan. Tanpa kamu ketahui, sebenarnya kesehatan Rani memang rapuh. Itu sebanya Papanya amat ketat mengawasi. Ada kanker di otaknya. Dulu pernah dioperasi di Belanda, tapi kemudian tumbuh lagi. Operasinya yang kedua gagal."
Arlan menahan airmata yang hampa keluar.
"Setelah tahu itu semua, aku masih bersabar diri, Lan. Aku ingin satu bentuk kejujuran darimu. Sebagai orang yang dekat, tadinya kupikir kamu mau mengungkapkan itu semua. Tapi harapanku sia-sia. Dan itu menimbulkan ide gila untuk menganggumu...."
"Cewek bergaun biru itu?"
"Ya, cewek itu bagian dari permainanku. Tapi ternyata aku tak sanggup untuk terus mempermainkanmu. Tuntutan untuk jujur kepadamu amat menyiksaku," Ratri berupaya untuk tetap tegar mengeluarkan kata-katanya.
"Kamu...."
"Apa pun pandanganmu padaku saat ini akan kuterima. Tapi beri aku kesempatan untuk mengantarkanmu melihat makam Rani," Ratri mulai tak kuat menahan isaknya. Ia tahu resiko apa yang paling berat yang akan diterimanya. Bisa saja Arlan membencinya lantas menjauhinya tanpa secuil maaf.
Tanpa diduga Arlan malah merengkuh Ratri ke pelukannya. Tentu saja isak Ratri makin tak terbendung. Ia tumpahkan gundah yang mengganjal perasaannya selama ini.
"Aku yang salah, Ratri. Aku bukan cuma nggak jujur pada hatiku sendiri. Aku telah mendustai banyak hal. Kesalahanku amat banyak. Aku harus menebus sakit hati yang kubuat padamu. Aku... mencintaimu, Ratri. Sesungguhnya perasaan itu timbul sudah lama. Tapi aku terlalu takut menghadapi resiko. Aku takut gurat luka yang ada di hatiku menganga lagi," tutur Arlan sambil mengusap uraian rambut Ratri.
Ratri mengangkat mukanya. Jarinya menghapus airmata yang masih keluar. "Sebaiknya kita segera ke makam Rani. Berdoa sejenak di makamnya barangkali akan menenteramkan hati kita berdua. Lagipula, kamu kan harus kembali bergabung dengan timmu itu," kata Ratri kemudian.
Arlan terperangah. Ia baru menyadari dirinya masih memakai kostum klub basketnya. Segera dirangkulnya bahu Ratri dengan tangan kanannya.
"Ayolah, kita bergegas. Mudah-mudahan aku masih sempat membuat three point. Tembakan itu akan kubuat spesial untukmu," ucap Arlan dengan kelegaan yang tiada tara. Entah ke mana larinya selubung yang menutup rapat hatinya. Entah ke mana hilangnya gurat luka itu.
Tuhan menolong kamu karena Dia menciantai kamu
1 YOHANES 4:19
Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.
Pernahkah kamu menemukan dirimu menerima sesuatu kemurahan hati yang melebihi apa yang kamu bayangkan. Mengapa? Sahabatku, itu karena TUHAN sedang menghamburkan kemurahan hatiNYA ( GRACE = suatu kemurahan yang semestinya kita tidak layak menerimanya) padamu. Dan DIA melakukan itu karena DIA mencintai kamu.
Saya suka membaca kitab ruth dari perjanjian lama, seorang janda dari moab, karena itu berbicara tentang kasih kemurahan TUHAN yang begitu luar biasa. Saat dimana ruth menggantungkan dirinya pada kasih kemurahan TUHAN, dia mendapatkan akses penuh kepada berkat TUHAN. Dari pada begitu banyaknya lading yang ada di Bethlehem, Kemurahan TUHAN memimpin die ke sebuah lading yang dimiliki oleh Boaz, seorang yang tidak hanya sangat kaya tetapi juga merupakan saudara dari ayah mertuanya. (Ruth 2:3) Boaz oleh karena itu merupakan seorang penebus yang berasal dari sanak saudaranya – seseorang yang mampu menebus dia dari keadaannya yang sangat buruk yaitu miskin dan janda tanpa anak.
Boaz bermurah hati kepada Ruth saat sejak pertama kali melihatnya. Ruth bahkan bukan seorang yahudi, tetapi dia memperhatikan keselamatannya dengan berkata kepada ruth untuk tidak gleaning (gleaning adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang sangat miskin dimana TUHAN memberikan ketetapan pada jaman itu bahwa para penuai hanya boleh sekali menuai dan meninggalkan sisa yang terjatuh atau tertinggal kepada orang orang miskin yaitu para gleaner) di ladang yang lain dan tetap berada dekat dengan para pekerja wanitanya. Boaz bahkan memerintahkan para anak buahnya untuk tidak menyentuh wanita ini dan memperbolehkan dia untuk meminum air yang mereka kumpulkan.
Saat makan, Ruth duduk bersama para penuai walaupun dia hanya seorang pemungut (gleaner) rendahan yang mengambil apa yang para penuai jatuhkan atau terlewat saat menuai. Diatas dari itu semua, dia memberikan kepada wanita ini bijian padi yang telah dipanggang, memastikan bahwa wanita ini makan dan puas, dan dia diperbolehkan untuk membawa pulang apa yang tersisa kepada ibu mertuanya. (Ruth 2:1-18)
Ruth hanya percaya bahwa dia akan menemukan kemurahan di lading dan TUHAN menempatkan dia pada tempat yang tepat dan waktu yang tepat, jadi DIA dapat membukakan pintu berkat yang besar kepadanya.
Apakah kamu tau bahwa Boaz adalah gambaran indah tentang TUHAN kita YESUS? Alkitab berkata bahwa "DIA lebih dahulu mengasihi kita". YESUS melihat kamu dan mencintai kamu lebih dahulu, jauh sebelum kamu mengenal atau mencintai DIA. Dan DIA menolong/bermurah hati kepada siapapun yang DIA cintai.
Saudara terkasih, kita tidak perlu untuk berjuang atau berusaha keras untuk menjadi layak untuk menerima kemurahan/pertolong an atau berkat TUHAN. KemurahanNYA diberikan kepadamu DIA mencintai kamu terlebih dahulu. Percaya pada cintaNYA kepadamu dan kamu akan melihat kemurahan,kebaikan dan pertolongan TUHAN membawa berkat yang melimpah di kehidupanmu! !
Cara mengatasi kritik
Orang bodoh menolak didikan ayahnya, tetapi siapa mengindahkan teguran adalah bijak (Amsal 15:5)
Robert A. Cook, mantan rektor King's College di New York menceritakan pengalamannya pada tahun-tahun awal pelayanannya. Ia menerima banyak kritik, dan karenanya ia meminta nasihat dari seorang temannya, pendeta Harry A. Ironside.
Dr. Cook menumpahkan seluruh isi hatinya dan bertanya apa yang harus ia perbuat menghadapi berbagai kritik tajam yang menyerang dirinya. Ironside memberi tanggapan demikian, "Bob, kalau kritik terhadap dirimu itu benar, terimalah dengan lapang dada! Tetapi kalau tidak benar, lupakanlah!"
Kita mungkin tidak dapat menghindar dari ejekan-ejekan menyakitkan yang meluncur dengan cepat dari orang-orang yang tak senang pada kita. Namu, ketika serangan melalui kata-kata itu dilontarkan kepada kita, adalah baik untuk menganalisanya. Jika tidak benar, biarkan saja. Seperti lingkaran air di belakang bebek yang sedang berenang, lambat laun akan hilang. Jika benar, ambillah langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki situasi. Saya suka ucapan Petrus, "Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu. Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau" (1 Petrus 4:14-15).
Apakah Anda sedang menghadapi kritik? Atau tuduhan? Jika semua itu benar, perbaikilah diri Anda! Tetapi jika semua itu tidak benar, lupakanlah. Itulah cara mengatasi kritik.
Some will hate you, some will love you;
Some will flatter, some will slight;
Cease from man and look above you,
Trust in God and do the right. --Marcleod
JANGAN TAKUT PADA KRITIK JIKA ANDA BENAR, JANGAN SEPELEKAN KRITIK JIKA ANDA SALAH
Kekurangan Bukan Alasan
Emmanuel "Manny" Yarbrough pernah merasa minder dengan tubuhnya yang begitu besar. Wajar saja, dengan tinggi 2 meter dan berat badan 350 kg, siapa yang tidak merasa dirinya sebagai orang aneh diantara masyarakat? Akan tetapi, ia tidak mau terus berlarut-larut dalam keterpurukan. Ia memutuskan untuk membuang pikiran negatif tentang dirinya. Ia mulai bangkit dan mencoba untuk menggali potensi yang ada di dalam dirinya. Ia pun mulai mendalami olah raga sumo. Terbukti, olah raga itu sangat cocok dengan tubuhnya yang besar. Setelah bekerja keras dan pantang menyerah, Pria asal AS tersebut telah berhasil menjadi juara dunia amatir Sumo, sekaligus menjadi atlet Sumo paling populer di luar Jepang.
Zakheus, si pemungut cukai kaya di Yerikho yang terkenal dengan tubuhnya yang pendek. Namun kita juga ingat bahwa meski pendek, ia adalah orang yang tidak mudah menyerah. Karena begitu ingin melihat Yesus, Alkitab mencatat bahwa ia kemudian melakukan dua hal. Pertama, ia berlari mendahului orang banyak. Kedua, ia memanjat pohon Ara agar dapat melihat-Nya.
Semua orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam dirinya. Kadang kala, kita sendiri akan lebih mudah melihat kekurangan diri kita dari pada kelebihan yang kita miliki. Demikian halnya, bagi orang lain, kekurangan sesorang seringkali akan lebih mudah terlihat ketimbang kelebihan.
Kesalahan yang sering terjadi adalah kita hanya sekedar melihat kekurangan kita dan berhenti pada menyesali, atau sekedar meminta orang lain untuk memakluminya. Bukan sikap seperti itu yang dimiliki Zakheus. Zakheus tidak protes atau meratapi kondisi tubuhnya, tetapi ia mau bertindak yaitu berlari dan memanjat. Berlari bebicara tentang bertindak lebih cepat. Memanjat adalah untuk berada di tempat lebih tinggi. Belajar dari Zakheus, jika kita ingin sukses didalam hidup, dibutuhkan lebih dari sekedar menyadari apa kelemahan kita, tetapi terlebih juga menyadari apa kelebihan kita.
Melakukan lebih, itulah kunci sukses.
Jangan biarkan kekurangan kita mengurangi keberhasilan kita.
" Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang akan lewat di situ."
( Lukas 19 : 4 )
Wanita kau berharga
Ketika Tuhan menciptakan wanita, DIA lembur pada hari ke-enam.
Malaikat datang dan bertanya,�Mengapa begitu lama, Tuhan?
Tuhan menjawab: Sudahkan engkau lihat semua detail yang saya buat untuk menciptakan mereka?. 2 Tangan ini harus bisa dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan, dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan ini.
Malaikat itu takjub. Hanya dengan dua tangan?. . . . impossible !! "Dan itu model standard?! Sudahlah TUHAN, cukup dulu untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya.
Oh.. Tidak, SAYA akan menyelesaikan ciptaan ini, karena ini adalah ciptaan favorit SAYA�. O yah Dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari.
Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita - ciptaan TUHAN itu. Tapi ENGKAU membuatnya begitu lembut TUHAN ?
Yah.. SAYA membuatnya lembut. Tapi ENGKAU belum bisa bayangkan kekuatan yang SAYA berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa.
Dia bisa berpikir?, tanya malaikat.
Tuhan menjawab: Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi."
Malaikat itu menyentuh dagunya.... TUHAN, ENGKAU buat ciptaan ini kelihatan lelah & rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya.
Itu bukan lelah atau rapuh . . . .. itu air mata, koreksi TUHAN
Untuk apa?, tanya malaikat
TUHAN melanjutkan: Air mata adalah salah satu cara dia mengekspressikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebanggaan.
Luar biasa, ENGKAU jenius TUHAN kata malaikat. ENGKAU memikirkan segala sesuatunya, wanita - ciptaanMU ini akan sungguh menakjubkan!"
"Ya mestii . . . !
Wanita ini akan mempunyai kekuatan mempesona laki-laki.
Dia dapat mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki.
Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri.
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit.
Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan.
Dia berkorban demi orang yang dicintainya.
Mampu berdiri melawan ketidakadilan.
Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik.
Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya.
Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat.
Cintanya tanpa syarat.
Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang.
Dia girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa .
Dia begitu bahagia mendengar kelahiran.
Hatinya begitu sedih mendengar berita sakit dan kematian. Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup.
Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka."
"Hanya ada satu hal yang kurang dari wanita:
Dia lupa betapa berharganya dia... "
Cinta tak harus berwujud bunga
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-2 saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-2 sensitif. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.
"Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut.
"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan"
Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?
Akhirnya dia bertanya,:
"Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?".
Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,:
"Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya : Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati, Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"
Dia termenung dan akhirnya berkata,
"Saya akan memberikan jawabannya besok."
Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-2an tangannya dibawah sebuah gelas yang bertuliskan. ...
"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya... "
Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.
"Kamu bisa mengetik di komputer namun selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-2 saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya."
"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang."
"Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk mengarahkanmu. "
"Kamu selalu pegal-2 pada waktu 'teman baikmu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal."
"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami."
"Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu."
"Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-2 bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu".
"Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku." "Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu. "
"Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu. "
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat cintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.
"Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu."
"Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.".
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.
Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Mama yang Mulia
dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota
tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba
kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah
yang membuat sang pria jatuh hati.
Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah,
dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga,
orang tua sang pria tidak menyukai wanita tsb. Sebagai orang yang
terpandang di kota tsb, latar belakang wanita tsb akan merusak reputasi
keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan
untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia
sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.
Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tsb
bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen
dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu
yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya
seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya).
Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orang tuanya agar
menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal
membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tsb, yang menurut
mereka akan sangat merugikan masa depannya.
Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kimpoi lari. Ia memutuskan
untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun
ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang
pria. Maka ketika saatnya tiba, sang ortu mengunci anaknya di dalam
kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.
Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan
sepasang kekasih tsb untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut
dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon
pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya.
Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar,
perkimpoian mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota,
reputasi anaknya akan tercemar, orang2 tidak akan menghormatinya lagi.
Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut
secara perlahan2.
Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan
agar wanita tsb meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya
lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tsb dapat digunakan untuk
membiayai hidupnya di tempat lain.
Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa
perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak
kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini,
tetapi menolak untuk menerima uang tsb. Ia mencintai sang pria, bukan
uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan
sangat sulit?.
Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tsb untuk meninggalkan
sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah
dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari
kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. "Walaupun ia
kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang
yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua", kata sang ibu.
Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia
sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah
melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama
dalam menghadapi penolakan2 akibat perbedaan status sosial mereka. Ia
tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah.
Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut.
Sang wanita yang malang tsb tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak
antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu,
sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia
bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
==========0000000000======
Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang
ibu. Anaknya seorang laki2. Sang ibu bekerja keras siang dan malam,
untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di
sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan
menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua
pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya.
Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak
memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat. Tetapi
sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya...
Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba2 sakit keras. Demamnya
sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tsb harus
menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah
menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini,
dan itupun belum cukup. Ibu tsb akhirnya juga meminjam ke sana-sini,
kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.
Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup
ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tsb terdiri dari
obat2 herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi
sang ibu hanya mampu membeli obat2 herbal tsb, ia tidak punya uang
sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak
mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan
belum terbayar.
Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa,
untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tsb telah menolak
permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian.
Diantara tangisannya, ia tiba2 mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang
ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau
dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat
daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur,
ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu
tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak
mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat?..
Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang
ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri.
Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang
sedang dilakukan oleh sang ibu ............ .
==========0000000000======
Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang
tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di
hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain
bersama, dan bersama2 menyanyikan lagu "Shi Sang Chi You Mama Hau"
(terjemahannya "Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik").
Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga
toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari.
Hari2 mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak
terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam
hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan
biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas.
Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat
membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini.
Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah
pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak
terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak
keperluan lain yang perlu dibiayai.
Sang anak segera pergi ke toko tsb, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia
meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tsb, karena
ia akan membelinya bulan depan. "Apakah kamu punya uang?"
tanya sang pemilik toko. "Tidak sekarang, nanti saya akan punya", kata
sang anak dengan serius.
Ternyata, bulan depan sang anak benar2 muncul untuk membeli jam tangan
tsb. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main2.
Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya "Dari mana kamu
mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?". "Saya tidak mencuri, kakek.
Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang
pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang
dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk
beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan
beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah" kata sang anak. Sang
pemilik toko tampak kagum pada anak tsb.
Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak
segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan
tsb. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam
tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba2 tersadar, dari
mana uang untuk membeli jam tsb. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab.
"Apakah kamu mencuri, Nak?" Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin
ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut.
Setelah ditanya berkali2 tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa
anaknya telah mencuri. "Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri.
Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal ini?" kata sang ibu.
Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang
pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis,
sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu
perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus
melakukannya, demi kebaikan anaknya.
Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah
tsb heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. "Ia
sebenarnya anak yang baik", kata salah satu tetangganya.
Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah
satu tetangganya yang merupakan familinya.
Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu.
Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk
menjelaskan. Tetapi tiba2 sang anak berlari ke arah pemilik toko, memohon
agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya.
"Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya". Sang anak mengikuti nasehat kakek
itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak
tiba2 muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan
jam tangan tsb, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul
siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya.
Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya
pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk
mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tsb,
begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak
kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu."Maafkan saya, Nak."
"Tidak Bu, saya yang bersalah".............. ..
===========000============
Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi
istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang ortu sangat sedih akan
hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak.
Ketika sang ibu dan anaknya berjalan2 ke kota, dalam sebuah kesempatan,
mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari
bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya
sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung
semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup
dengan baik tanpa bantuanmu.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu
ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan.
===========000============
Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter
mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang
konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya.
Keuangan sang ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi
biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya.
Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang
tepat. Satu2nya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang
ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya.
Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling
kota, bermain2 di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali,
menyanyikan lagu "Shi Sang Chi You Mama Hau", lagu kesayangan
mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia
hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak.
Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak
menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu.
"Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak" kata
ibu. "Tidak apa2 Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila
bisa bersama2 dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak
uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu
bekerja lagi, Bu", kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke
rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap
saat.
Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat
senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang
anak meronta2 ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan
mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama
ibunya, sang anak menolak. "Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu",
teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis,
sang ibu berkata "Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di
sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu." "Tidak, aku tidak
mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga
sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi", sang anak mulai menangis.
Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tsb tidak
didengarkan anak kecil tsb. Sang anak menangis tersedu2 "Kalau ibu
sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu". Sampai pada akhirnya, ibunya
memaksa dengan mengatakan "Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah
disini", ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tsb. Tampak
anaknya meronta2 dengan ledakan tangis yang memilukan.
Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu
menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan
menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan
baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi.
Ia telah kehilangan satu2nya alasan untuk hidup, anaknya tercinta.
Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat
nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin
tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk
mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh
diri itu dibatalkan, demi anaknya juga.......... ..
============000=========
Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja
yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani
perawatan medis secara rutin setiap bulan.
Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya.
Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah
mengumpulkannya. Maka, pada hari tsb, sepulang dari sekolah, ia tidak
pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya,
yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai
bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu,
sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat
bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu.
Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju
rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah
kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu
kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di
depan rumah tsb, menangis "Ibu benar2 tidak menginginkan saya lagi."
Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah
terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah
mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi
tidak ada kabar.
Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut.
Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.
Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba2 ia teringat sesuatu. Hari
ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya.
Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik
mobil menuju rumah tsb. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang
tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat
anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan2
imut anaknya dalam surat itu.
Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tsb, tanpa
mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu
membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis
ia memohon agar bisa menemukan anaknya.
Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba2 ingat bahwa ia dan anaknya
pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tsb. Ibunya pernah berkata,
bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im
yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik.
Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tsb untuk
memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.
Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan,
demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk
dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh
dari tangga, dan berguling2 jatuh ke bawah.......... ..
============000===========
Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku
kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya.
Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak
telah banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana2, tetapi
hasilnya nihil.
Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama
dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil,
di persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang
mengemis. Ibu tsb terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak
pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak
berkomat-kamit.
Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama
pacar untuk menghampiri pengemis tua itu. Ternyata sang pengemis tua
sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta sedekah, ia berucap dengan
lemah "Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?"
Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera
menyanyikan lagu "Shi Sang Ci You Mama Hau" dengan suara perlahan, tak
disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah.
Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang
selalu menyanyikan lagu tsb saat ia kecil, sang anak segera memeluk
pengemis tua itu dan berteriak dengan haru "Ibu? Ini saya ibu".
Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba2 muka sang anak, lalu
bertanya, "Apakah kamu ??..(nama anak itu)?" "Benar bu, saya adalah anak
ibu?".
Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur membasahi
bumi ............... .
Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi
hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari
anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang
menganggapnya sebagai orang gila.
====================000===
_Perenungkan untuk kita renungkan bersama-sama:_
Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu
bahkan rela mengorbankan nyawanya..
Simaklah penggalan doa keputusasaan berikut ini, di saat Ibu masih muda,
ataupun disaat Ibu sudah tua :
1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah
aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
Diantara orang2 disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I kandung
Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela
mengorbankan nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara
apapun ...........
Tidak diragukan lagi "Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia ini"
++++++++++++++++++++++
Ingin bergabung dalam sebuah MISI MULIA ? Ada sebuah tindakan yang dapat
Anda lakukan, bila Anda beruntung (Ibu Anda masih ada di dunia ini),
ajaklah ia untuk keluar makan atau jalan2 MALAM INI JUGA. Jangan
ditunda2. Bila Ibu Anda tinggal di tempat yang terpisah jauh dengan
Anda, telponlah dia malam ini juga, just to say "hello". Catatlah hari
ulang tahunnya, rayakan, dan bahagiakanlah dia semampu Anda. Hidangkan
makanan favoritnya, dst.